Era modern menuntut perusahaan untuk tidak hanya berinovasi dalam produk, tetapi juga dalam cara mereka bekerja. Transformasi Digital bukan lagi pilihan, melainkan keharusan untuk mempertahankan daya saing. Namun, kesalahan fatal yang sering terjadi adalah ketika pimpinan berfokus pada investasi teknologi (perangkat lunak dan keras) tanpa memperhatikan perubahan mendasar pada manusianya. Kunci utama untuk memastikan keberhasilan inisiatif besar ini terletak pada kemampuan organisasi mengelola perubahan budaya kerja. Mengganti sistem warisan (legacy system) dengan platform baru hanya akan menambah kerumitan jika karyawan tidak siap, enggan, atau tidak termotivasi untuk mengadopsi cara kerja yang baru. Sebuah studi yang dilakukan oleh Institut Manajemen Global pada tahun 2023 menunjukkan bahwa 70% proyek Transformasi Digital gagal mencapai target penuhnya bukan karena masalah teknologi, melainkan karena resistensi budaya dan kurangnya keterlibatan karyawan.
Inti dari keberhasilan Transformasi Digital adalah menanamkan pola pikir agile dan berorientasi pada data. Pola pikir agile berarti menerima kegagalan kecil sebagai bagian dari proses belajar, bergerak cepat dalam siklus pendek, dan senantiasa beradaptasi. Ini berlawanan dengan budaya kerja lama yang kaku, hierarkis, dan takut mengambil risiko. Untuk mengelola pergeseran ini, pimpinan perlu memberikan dukungan pelatihan yang terstruktur dan berkelanjutan. Misalnya, sebuah perusahaan energi di Kalimantan Timur yang memulai program Transformasi Digital untuk optimasi rantai pasok pada awal tahun 2024 menyadari bahwa banyak insinyur senior yang merasa terancam oleh sistem otomatisasi baru. Untuk mengatasi resistensi ini, mereka meluncurkan program pelatihan intensif selama 12 minggu, dimulai pada hari Senin, 5 Februari 2024, yang tidak hanya mengajarkan keterampilan teknis baru, tetapi juga menekankan bagaimana teknologi akan meningkatkan kualitas kerja dan keselamatan, alih-alih menggantikan peran mereka.
Keterlibatan kepemimpinan adalah faktor penentu lainnya. Pimpinan senior harus menjadi champion perubahan, secara aktif menggunakan alat digital baru, dan mendemonstrasikan perilaku yang diharapkan. Ketika Kepala Departemen Keuangan sebuah bank di Surabaya mulai menggunakan sistem kolaborasi cloud untuk menyusun laporan keuangan mingguan, hal itu memberikan contoh yang kuat bagi semua staf. Selain itu, pimpinan harus menciptakan mekanisme umpan balik yang aman, di mana karyawan dapat menyuarakan kekhawatiran mereka tentang teknologi baru tanpa takut dihukum. Hal ini penting karena perubahan teknologi sering kali menimbulkan kekhawatiran mengenai keamanan kerja. Dalam sebuah kasus yang dicatat oleh konsultan SDM pada tahun 2022, sebuah perusahaan ritel di Indonesia berhasil menenangkan staf mereka mengenai ancaman Artificial Intelligence (AI) dengan secara eksplisit mendefinisikan 10 peran baru yang akan diciptakan oleh AI, fokus pada keterampilan “manusia” seperti kreativitas dan empati yang tidak dapat digantikan.
Akhirnya, kesuksesan Transformasi Digital harus dirayakan secara terbuka untuk memperkuat budaya baru. Perusahaan perlu mengidentifikasi dan menghargai karyawan yang mengambil risiko, berkolaborasi secara efektif menggunakan alat baru, dan berbagi pengetahuan. Alih-alih merayakan peluncuran teknologi semata, pimpinan harus merayakan pencapaian bisnis yang dihasilkan oleh teknologi tersebut. Misalnya, pada tanggal 15 Oktober 2024, perusahaan consumer goods di Jakarta mengadakan upacara penghargaan kecil untuk tim gudang yang berhasil mengurangi kesalahan inventaris hingga 80% berkat sistem digital baru. Tindakan ini memperkuat gagasan bahwa teknologi adalah alat, dan budaya continuous improvement adalah kunci untuk mencapai hasil bisnis yang unggul, bukan sekadar mengganti perangkat lunak.
